BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Tanah merupakan suatu benda yang tidak bergerak dan mempunyai nilai tinggi, bahkan tahun ke tahun nilainya semakin meningkat karena kebutuhan masyarakat yang sudah semakin kompleks sehingga menimbulkan permasalahan yang semakin kompleks pula mengenai kepemilikan tanah tersebut.
Berbeda pada msa lampau di mana sejarah kepemilikan tanah secara individu hanya mengandalkan kepada ingatan atau keterangan saksi saja. Hal ini tentu saja pasti tidak teliti, karena kita ketahui ingatan setiap orang pasti kabur dan saksi-saksi yang memberikan keterangan tadi tidak selamanya hidup dan dapat dimintai keterangan. Di Indonesia tanah sudah ada sejak dahulu dalam artian hubungan tanah dengan manusia tersebut, namun karena tidak tertulis atau tidak terdaftar hanya secara lisan saja tanah itu diketahui milik siapa dan batas-batasnya atau setidak-tidaknya satu bidang tanah itu umum mengetahui adalah milik seorang ataupun warisan dari seseorang pada ahli warisnya.[1]
Karena itu dunia hukum Indonesia dihadapkan pada suatu tantangan untuk dapat menciptakan kerangka landasan hukum dalam rangka pembentukan perangkat hukum yang dibutuhkan pada “tinggal landas pembangunan kelak”. Tuntutan akan adanya perangkat hukum yang dapat memenuhi kebutuhan rakyat indonesia yang sedang melangkah ke ambang modernisasi perlu mendapat perhatian kita semua. Aturan-aturan hukum yang berasal dari masa lampau dan tidak responsif lagi terhadap kebutuhan hukum masa kini, sehingga memaksa kita dan membangun hukum baru agar dapat memenuhi tuntutan zaman.
Sesuai dengan petunjuk yang terdapat dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN), usaha pembaharuan hukum akan terwujud dengan antara lain mengadakan kodifikasi serta unifikasi hukum yang di bidang-bidang hukum tertentu dengan memperhatikan kesadaran hukum yang berkembang dalam masyarakat yang keseluruhannya akan merupakan landasan hukum yang mengatur kehidupan rakyat Indonesia kelak.[2]
Undang-Undnag Pokok Agraria (UUPA) dengan seperangkat peraturan pelaksanaannya bertujuan untuk terwujudnya jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah di seluruh Indonesia.
Jika kita hubungkan dengan usaha-usaha pemerintah dalam rangka penataan kembali penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah serta pendaftaran tanah/pendaftaran hak atas tanah yang dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1961 hingga saat ini, setelah membawa hasil yang positif dalam rangka usaha penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilik tanah di samping adanya hal-hal yang sifatnya negatif.[3]
Sering mendengar adanya hal-hal perselisihan tentang kepemilikan sebidang tanah yang bersangkutan. Hal-hal yang sedemikian ini merupakan persoalan dalam pelaksanaan pendaftaran di Indonesia yang tentunya mempengaruhi atas tertibnya jaminan kepastian hukum terhadap pemegang hak-hak atas tanah di Indonesia.
Adapun pentingnya pendaftaran tanah tersebut menurut pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, menyatakan sebagai berikut:
1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintahan agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi.[4]
Berbicara masalah pendaftaran tanah tentunya kita tidak bisa terlepas dari sistem pendaftaran ini sendiri. Menurut Bachtiar Effendi, dalam bukunya mengenai sistem pendaftaran tanah pada prinsipnya terdapat tiga sistem, yaitu sistem Torrens, sistem Negatif dan sistem Positif .[5]
Ketiga sistem tersbut di atas kita akan melihat sistem manakah yang dianut oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) kita. Untuk mengetahui hal ini, kita akan melihat pendapat Bachtiar Effendi yang mengatakan bahwa jika kita hubungkan antara ketentuan pasal 19 ayat (2) huruf c dengan sistem-sistem di atas, maka akibat hukum dari ketentuan Pasal 19 (2) huruf c, Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tersebut adalah sebagaimana yang tersebut dalam sistem negatif.[6]
Berdasarkan kontruksi pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) ini, menyatakan bahwa : “Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat”. Kata “kuat” dalam pengertian pasal 19 ayat (2) huruf c ini berarti bahwa sertifikat tanah yang diberikan ini adalah “tidak mutlak” dan membawa akibat hukum segala apa yang tercantum di dalamnya dianggap benar, sepanjang tidak ada orang yang dapat membuktikan keadaan yang menyatakan bahwa sertifikat itu tidak benar.7
Setelah mencermati ketentuan hukum yang berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dengan menunjuk bahwa dokumen formal kepemilikan hak atas tanah sesuai ketentuan hukum tersebut berupa sertifikat hak maka dapat disimpulkan (sementara) bahwa sistem pendaftaran di Indonesia seharusnya mendasarkan pada sistem pendaftaran di Negara kita menganut sistem publikasi negatif bertendens Positif, dengan demikian segala apa yang tercantum dalam sertifikat dianggap benar, sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya, tetapi dalam prakteknya sering timbul permasalahan yang timbul sehubungan dengan dianutnya sistem publikasi negatif bertendens positif. Ini terbukti dengan tumpang tindihnya sertifikat hak atas sebidang tanah yang akhirnya untuk memperoleh kepastiannya harus melalui jalur Pengadilan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka penulis mencoba membahas masalah sistem publikasi negatif bertendens positif dalam skiripsi ini dengan mengambil obyek penelitian di Kabupaten Bantul, dikarenakan disana banyak terdapat kasus dan masalah pertanahan, sehingga menarik simpati penulis untuk mencoba membahas masalah ini dengan mengambil judul “PELAKSANAAN PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH DENGAN SISTEM PUBLIKASI NEGATIF BERTENDENS POSITIF BESERTA AKIBATNYA DI KABUPATEN BANTUL”
B. Rumusan Masalah
Dalam skiripsi ini penulis akan merumuskan pokok-pokok permasalahn sebagai berikut :
1. Bagaimana Konsekuensi dari adanya pendaftaran hak atas tanah dengan sistem publikasi negatif bertendens positif?
2. Bagimana upaya yang dilakukan apabila timbul masalah dari sistem publikasi negatif?
C. Tujuan Penelitian
Pada dasarnya penelitian dan pembahasan masalah pendaftaran atas tanah dengan sistem publikasi negatif bertendens positif bertujuan untuk :
1. Mengetahui bagaimana konsekuensi adanya pendaftaran hak atas tanah dengan sistem publikasi negatif bertendens positif.
2. Mengetahui bagaimana upaya yang dilakukan apabila timbul masalah sistem publikasi negatif bertendens positif.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat atau kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengumpulkan data bagi penyusun skiripsi yang diajukan untuk menyelesaikan Program Studi Strata 1 pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
2. Untuk meningkatkan pengetahuan penulis dalam memahami ilmu hukum khususnya relevansi hukum secara teoritis dan praktek pelaksanaannya.
3. Diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan masukan pada penulis khususnya dan kepada masyarakat pada umumnya, terutama mengenai masalah pendaftaran hak atas tanah dengan sistem publikasi negatif bertendens positif.
E. Tinjauan Pustaka
Negara Indonesia kita telah mengatur tentang masalah agraria dan merupakan negara kesatuan yang bertipe negara hukum. Oleh karena itu negara Indonesia berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan bagi warga negaranya.
Hukum yang baik ialah hukum yang dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan kesadaran hukumnya.8( Waloyo Padmo, 1999, “Ilmu Negara”, Fakultas Hukum UI, Jakarta, Hlm 64) Cirri-ciri negara hukum ialah :
1. Pengakuan dan perlindungan atas hak asasi;
2. Peradilan yang bebas.
3. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.
Negara Indonesia kita telah mengatur tentang masalah yang ada pada masyarakat khususnya Masalah agraria, permasalahn tersebut menjadi masalah yang serius, hal ini dikarenakan bahwa sebagian masyarakat Indonesia hidup dari sektor agraris. Oleh karena itu, masalah pertanahan di Indonesia telah diatur sendiri dalam sebuah sistem hukum yaitu hukum agraria yang telah diatur oleh pemerintah namun pada kenyataannya permasalahan-permaslahan tentang agrarian selalu ada.
Banyak para ahli memberikan pengertian tentang Hukum Agraria, pengertian tentang agrarian tersebut dikemukan oleh:
1. Menurut Prof. Boedi Harsono, SH. Yang dimaksud hukum Agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur agraria.9(Boedi Harsono, 1968, “UUPA, Sejarah Penyusunan isi dan Pelaksanaannya”, Djambatan, Jakarta, Hlm 5)
2. Menurut Prof. Utrecht, SH bahwa Hukum Tanah dan Hukum Agraria adalah menjadi bagian Hukuk Tata Usaha Negara, yang menguji hubungan-hubungan istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus soal-soal agraria.10 ( Utrecht, 1961, “Pengantar Dalam Huku Indonesia”, PT Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, Hlm 458)
3. Menurut Prof. Subekti, SH. Bahwa Hukum Agraria adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum, antara orang yang satu dengan yang lain, temasuk badan hukum dengan bumi, air,dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah dan mengatur pula wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan-hubungan tersebut.11. (Subekti, 1986,”Kamus Hukum”, Praduteja, Jakarta, Hlm 51)
Pengertian hukum agraria dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) tidak dijelaskan secara tegas, tetapi dari apa yang tercantum di dalam konsiderans, pasal-pasal dalam penjelasannya dapat dismpulkan bahwa pengertian agraria dan hukum agraria dalam Undang-Undang Pokok Agraria dipakai dalam arti luas.
Pengertian agraria meliputi bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ruang di atas bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu.12 Oleh karena itu diperlukan adanya proses pembuatan dan pelaksanaan bagaimana tanah dan sumber adanya didistribusikan, digunakan dan dilindungi dalam masyarakat.
Pasal 1 butir (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi : pengumpulan, pengelolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Pendaftaran tanah tersebut pada dasarnya merupakan kewajiban pemerintah yang telah diatur sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yaitu baik data UUPA maupun Peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.
Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali (intial registration) maksudnya kegiatan pendaftaran yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah ini. Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik.13 (Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Hlm. 460). Dan pemeliharaan data pendaftaran tanah (maintenance) Maksudnya kegiatan pendaftaran tanah untuk menyelesaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian.
Seperti diketahui bahwa pendaftaran tanah adalah bertujuan untuk memperoleh suatu bentuk kepastian hukum dan kepastian hak bagi pemegang hak-hak atas tanah. Dengan adanya pendaftaran tanah ini diharapkan bahwa seseorang pemegang hak atas tanah akan merasa aman tidak ada gangguan hak yang dipunyai atas sebidang tanah. Perbuatan hukum dan pendaftaran tanah ini adalah merupakan suatu bentuk dari peristiwa hukum yang sangat dimiliki oleh seseorang. Hak keperdataan ini jika ditinjau secara mendalam merupakan suatu bentuk pengejawantahan dari substansial Hak Asasi Manusia (HAM) yang dimilki seseorang yang harus dijunjung tinggi dan dihormati oleh orang lain.
Pitlo14 ( Bachtiar Effendi, 1992, Pendaftaran Tanah, Alumni, bandung, Hlm. 46)Menyebutkan bahwa saat dilakukannya pendaftaran hak atas maka hubungan hukum pribadi antara seseorang dengan tanah diumumkan kepada pihak ketiga atau masyarakat. Sejak saat itulah pihak ketiga dianggap mengetahui adanya hubungan hukum antara orang dengan tanah dimaksud, sebagaiman ia menjadi terikat dan wajib menghormati hak tersebut sebagai suatu kewajiban yang timbul dari kepatutan.
Beberapa sistem pendaftaran tanah menurut AP. Perlindungan, yaitu:15 (AP. Parlindungan, 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, Hlm. 130)
1. Pendaftaran Tanah sistem Torrens
2. Pendaftaran Tanah sistem Negatif
3. Pendaftaran Tanah sistem Positif
Sistem pendaftaran tanah yang digunakan suatu negara tergantung pada asas hukum yang dianut oleh negara tersebut dalam mengalihkan haknya. Sementara itu jika dari segi jaminan yang diberikan dengan pemberian surat tanda bukti hak sebagai alat pembuktian, maka timbulah berbagai jenis sistem pendafataran tanah antara lain :
1. Sistem Publikasi Positif yaitu suatu Sistem pendaftaran tanah dimana alat bukti yang dikeluarkan menjamin secara mutlak. Ini memberi arti bahwa orang yang tercatat dalam daftar umum ( daftar tanah, daftar buku tanah, daftar nama, dan daftar surat ukur), maka dialah yang menjadi pemilik yang pasti. Pihak ketiga harus percaya dan tidak khawatir bahwa suatu ketika mereka akan kehilangan haknya meskipun apabila nanti akan terjadi kesalahan didalam mendaftarkan, sebab siapapun yang sudah menjadi pemegang hak maka tidak dapat diganggu gugat ( meskipun dengan keputusan hakim).
2. Sistem Publikasi Negatif yaitu suatu sistem pendaftaran tanah dimana alat bukti yang dikeluarkannya tidak menjamin secara mutlak. Pada sistem ini jaminan kuat diberikan kepada pemilik. Pemilik dapat menggugat haknya atas sebidang tanah dan mereka yang telah terdaftar terlebih dahulu. Pada pihak ketiga tidak mendapat perlindungan. Perlindungan hanya ada ditangan hakim, yang dalam sengketa-sengketa di muka pengadilan akan menimbang berbagai kepentingan-kepentingan hukum yang saling bertentangan.
Dalam UUPA yang dianut adalah sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif. Ini memberikan arti bahwa pada pendaftaran memakai sistem negatif, yang memberikan peluang kepada pihak ketiga apabila ia bisa membuktikan bahwa tanah yang dimaksud miliknya, maka orang yang terlebih dahulu terdaftar pada sertifikat dapat dilaksanakan perubahan berdasarkan keputusan pengadilan. Sedangkan unsur positifnya terletak pada pelaksanaan pendaftarannya memakai sistem positif yaitu pendaftarannya dilakukannya dengan :
a. Pengukuran bidang-bidang tanah yang diikatkan dengan titik dasar teknik.
b. Penetapan batasnya dengan asas contrac dictoir delimintasi, yang artinya penetapan batas harus mendapatkan persetujuan oleh pihak sebelahnya.
c. Dilakukan penyelidikan riwayat tanah secara cermat oleh suatu panitia.
d. Dilakukan pengumuman selama 2 bulan kepada pihak ketiga agar memberi peluang jika ternyata apa yang diumumkan tidak benar, maka dapat dilakukan keberatan.
e. Dilaksanakan pembukuan dalam daftar-daftar umum yang terdiri dari daftar tanah, buku tanah, surat ukur, nama, dan peta-peta pendaftaran.
Masing-masing kegiatan tersebut diatas memerlukan jangka waktu yang cukup dan biaya yang cukup besar, terutama dalam kegiatan pengukuran dan pemetaan tiap bidang tanah. Sehingga dengan adanya sertifikat hak milik atas tanah semakin besar adanya suatu tanda bukti hak yang telah didaftarkan menurut Pasal 19 ayat 2 sub c, hal tersebut diuraikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 199, Pasal 32 ayat (1) sebagai peraturan pelaksanaannya yang disebut sertifikat.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah penelitian lapangan dan penelitian pustaka, artinya penulis akan melakukan pencarian data melalui pengamatan langsung di lapangan dan wawancara langsung dengan Nara sumber, dan ditambah dengan literatuliteratur yang terkait dengan masalah yang diteliti.
2. Lokasi Penelitian dan Narasumber
Wilayah atau lokasi penelitian adalah Kantor Pertanahan Kota Parbumulih. Sedangkan para Nara sumber adalah Pejabat Kantor Pertahan yang terkait dengan masalah yang akan diteliti dan orang atau masyarkat yang melakukan pendaftaran tanah untuk mendapatkan data tambahan.
3. Teknik dan alat Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yaitu dengan menggali data dari sumber data yang dikelompok ke dalam tiga kelompok sumber data yaitu :
a. Data Primer, yaitu data-data yang diperoleh secara langsung dari lapangan melalui penelitian, pengamatan secara langsung, dan wawancara yang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan secara lisan dan dengan wawancara yang sistematis.
b. Data Sekunder, yaitu data-data yang yang diperoleh dari kepustakaan dengan berbagai literature yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Data ini dikelompokan menjadi, yaitu :
1) Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan yang mengikat, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan kejelasan atas bahan hukum primer terdiri dari buku-buku, laporan penelitian, jurnal ilmiah dan Tulisan-tulisan lain yang berkaitan langsung dengan penelitian.
3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang secara tidak langsung berkaitan dengan penelitian atau kejelasan atas bahan hukum primer dan sekunder seperi Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, dab Kamus tentang Pertanahan.
4. Analisi Data
Analisis data yang dilakukan secara deskriptif, yaitu mengambil data-data yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti sehingga dapat diuraikan secara deskriptif, kualitatif dan komprehensif, yaitu menggambarkan kenyataan yang berlaku dan masih ada kaitannya dengan aspek-aspek hukum yang berlaku. Sedangkan Penelitian hukum normatif, pengelolahan data hakikatnya kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan kontruksi8. (10 Soerjono dan Sri Mamudji, 1990, “Penelitian hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat”, Rajawali press, Jakarta
Dilarang men Copy tanpa seizin Penulis
BalasHapusSertifikat tanah tidaklah menjamin kepastian hukum bagi pemiliknya, karena sistem pendaftaran tanah dalam UU no.5/1960 tentang Pokok Agraria menggunakan sistem publikasi negatif dan negara tidak memberikan jaminan terkait kebenaran data yang disajikan. Sistem pendaftaran ini dilatarbelakangi oleh hukum adat, dimana jika seseorang membiarkan tanahnya dalam jangka waktu lama, maka hilanglah haknya atas tanah tersebut.
BalasHapusAsas 'Publikasi Negatif' dijadikan Yurisprudensi melalui putusan Mahkamah Agung No.459/K/Sip/1975 tanggal 18 September 1975, bahwa "Mengingat stelsel negatif tentang pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia, maka terdaftarna nama seseorang di dalam register bukanlah berarti absolut menjadi pemilik tanah tersebut apabila keabsahannya dapat dibuktikan pihak lain"
Ketentuan pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA menyatakan bahwa sertifikat tanah yang diterbitkan berlaku sebagain alat pembuktian yang kuat. Namun ketentuan ini bukanlah jaminan mengingat sistem publikasi negatif yang memberikan kesempatan bagi orang lain untuk membatalkan keabsahan sertifikat tersebut.
Berbeda dengan sistem pendaftaran yang dibuat oleh Robert Torrens, bahwa negara menjamin sepenuhnya pendaftaran dan penerbitan sertifikat dan meniadakan adanya unsur pemalsuan. Pendaftaran dilakukan berdasarkan data yang akurat dari hasil survey dan negara diwajibkan membayar ganti rugi atas kesalahan pendaftaran tanah. Jika tanah telah terdaftar, maka kepemilikan dijamin penuh.
Sistem Torrens digunakan pertama kali di Australia Selatan tahun 1858 yang kemudian diadopsi oleh banyak negara di dunia. Di Australia sendiri tiap2 negara bagian memiliki perundangan terkait pertanahan "The Land Title Act" di Queensland, dan Tasmania, "The Real Property Act" di New South Wales dan wilayah bagian Selatan, serta "The Transfer Land Act" di Victoria dan wilayah bagian Barat.
Malaysia mengadopsi sistem ini yang dituangkan pada "National Land Code 1965".